|
Tulisan Pak Ali Sakti
(sewaktu masih menjadi Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ekonomi
International Islamic University, Selangor, Malaysia)
World Trade Organization (WTO) menjadi ikon ekonomi yang sangat sakral pada
abad ini. Organisasi perdagangan ini dimaksudkan untuk menjaga kelancaran
sekaligus mendorong pertumbuhan perdagangan dan ekonomi dunia. Memperkecil
hambatan-hambatan dalam perdagangan, penyebaran teknologi, dan peningkatan
produktivitas, juga menjadi tujuan utama organisasi ini.
Globalisasi secara sepintas memang lebih merupakan pemenuhan
kepentingan sektor swasta, terutama perusahaan multinasional. Globalisasi
sebagian besar merupakan cerita bagaimana perusahaan multinasional mengambil
alih peran negara dalam menentukan jalannya perekonomian dunia.
Pertimbangan biaya, produktivitas pekerja, superioritas teknologi dan
pertimbangan comparative advantage lainnya, menjadikan globalisasi sebagai
jawaban atas masalah perdagangan dunia pada beberapa dasawarsa belakangan
ini.
Ini sebenarnya sejalan dengan visi dari sistem kapitalis yang
berparadigma pasar (market mechanism paradigm), yang menyerahkan jalannya
ekonomi sepenuhnya kepada pasar. Pemerintah hanya akan turut campur ketika
pasar diganggu oleh interupsi luar (externalities) atau kegagalan pasar
(market failures).
Sidney Weintraub (2000) dalam komentarnya tentang globalisasi mengatakan
bahwa globalisasi bagaikan jin yang keluar dari botol, yang menyediakan
investasi, arus keuangan, perdagangan dan keuntungan teknologi bagi seluruh
negara yang menganggotai organisasi ini. Terlepas bahwa globalisasi ini akan
memberikan efek negatif kepada sejumlah negara, Weintraub dalam komentarnya
menggaris bawahi bahwa globalisasi memberikan efek efisien kepada proses
perdagangan dunia.
Memang benar globalisasi artinya meminimalisasi atau bahkan
mengeliminasi segala kendala atau hambatan dalam perdagangan dunia, yang
diharapkan akan memperlancar proses perdagangan itu sendiri.
Semakin cepat dan canggihnya perkembangan teknologi terutamanya
teknologi komunikasi membuat proses globalisasi berputar lebih cepat dari
yang diperkirakan. Sehingga bukan hanya kendala birokrasi saja yang
terpotong, namun jumlah biaya untuk proses dagangpun menjadi lebih kecil.
Dalam dua dekade ini perkembangan ekonomi yang sangat mencolok adalah
perkembangan sistem keuangan dunia. Pertumbuhan money market dan bond market
berikut secondary market begitu cepat, hingga pertumbuhannya mampu melebihi
pertumbuhan perdagangan di sektor real. Perkembangan baik kualitas maupun
kuantitas transaksi di pasar ini berakibat ketidakseimbangan antara pasar
uang dan pasar barang.
Berdasarkan data yang dimiliki sebuah NGO ekonomi di AS, volume
transaksi yang terjadi di pasar uang (currency speculation and derivative
market) berjumlah 1,5 triliun dolar AS dalam sehari, sedangkan volume
transaksi yang terjadi pada perdagangan dunia di sektor real hanya 6 triliun
dolar AS setiap tahun.
Robin Hahnel dalam artikelnya Capitalist Globalism In Crisis: Understanding
the Global Economic Crisis (2000), mengatakan bahwa globalisasi, khususnya
dalam financial market, hanya membuat pemegang asset semakin memperbesar
jumlah kekayaannya tanpa melakukan apa-apa.
Mereka hanya memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang terdapat dalam
pasar uang untuk berspekulasi yang menumpuk kekayaan mereka. Dapat dikatakan
uang tertarik pada segelintir pelaku ekonomi meninggalkan lubang yang
menganga pada sebagian besar spot ekonomi.
Hahnel juga menyoroti bagaimana sistem kredit atau sistem hutang sudah
memerangkap perekonomian dunia sedemikian dalam. Apalagi mekanisme bunga
(interest rate) juga menggurita bersama sistem hutang ini, yang kemudian
membuat sistem perekonomian harus menderita ketidakseimbangan kronis.
Sistem hutang ini menurut Hahnel hanya melayani kepentingan
spekulator, kepentingan segelintir pelaku ekonomi. Namun segelintir pelaku
ekonomi tersebut menguasai sebagian besar asset yang ada di dunia. Jika kita
kaji pemikiran Hahner ini lebih mendalam akan kita lihat dengan sangat jelas
bahwa perekonomian akan berakhir dengan kehancuran akibat sistem yang
dianutnya.
Dalam dasar ilmu ekonomi kita ketahui bahwa keseimbangan pasar adalah
hal yang sangat vital dalam memastikan kelancaran pasar. Namun ketika sistem
kredit merajalela seiring dengan pesatnya perkembangan sistem tersebut di
pasar uang (financial market system), keseimbangan ini terganggu.
Terciptanya uang yang meningkatkan jumlah permintaan uang melalui
kredit atau bunga relatif tidak terkontrol. Begitu juga ketika uang itu
sendiri menjadi komoditi (diperdagangkan), otomatis pasar uang semakin
mempercepat penumpukan permintaan uang.
Karena pasar uang ini sebagian besar berada dalam sistem hutang maka
sebagian besar uang beredar ini tidak riil. Akhirnya ketidakseimbangan akan
mengganggu ekonomi, yaitu ketika sebagian besar beban hutang/kredit tersebut
jatuh tempo.
Pada saat itu keterpurukan ekonomi terjadi, permintaan uang untuk
memenuhi kewajiban jatuh tempo melebihi uang yang beredar. Konsumsi akan
berkurang karena sebagian pendapatan digunakan untuk membayar hutang.
Tabungan terkuras untuk menutupi beban hutang. Akibatnya kemudian
investasi menjadi mahal. Kelesuan pada investasi, konsumsi, dan pasar
keuangan, menjerumuskan ekonomi pada krisis.
Perlu dipahami bahwa sistem kredit di perekonomian memicu
ketidakseimbangan di pasar uang. Ketidakseimbangan antara permintaan dan
penawaran uang. Namun pada dasarnya sistem kredit menciptakan uang (yang
tidak riil) melalui bunga.
Secara teori memang kartu kredit dan sejenisnya tidak dikatakan
sebagai uang beredar, tapi pada hakekatnya jenis transaksi inilah yang
kemudian menggelembungkan ketidakseimbangan di pasar uang.
Pada skala satu negara, ketika ketidakseimbangan ini ada, maka yang
menjadi kecenderungannya kemudian adalah kebangkrutan ekonomi pada tingkat
perusahaan maupun perorangan. Ini yang diprediksikan akan terjadi di
Australia oleh para analis ekonomi.
Berdasarkan laporan Gatraonline, 26 desember 2001, hutang rumah tangga
Australia kini menyamai hutang luar negeri negara. Bahkan berdasarkan data
terakhir menunjukkan hutang rumah tangga melebihi hutang luar negeri, yaitu
hutang rumah tangga mencapai 201 triliun dolar AS, sedangkan hutang luar
negeri hanya mencapai 172 triliun dolar AS.
Hal ini diakibatkan pemakaian kartu kredit yang berlebihan. Data juga
menunjukkan 6 dari 10 dolar Australia yang dibelanjakan adalah dalam bentuk
hutang melalui kartu kredit. Tentu keadaan ini akan membuat kondisi ekonomi
Australia akan lesu pada masa-masa mendatang akibat pendapatan perorangan
akan tersedot untuk membayar hutang. Hal ini juga bermakna penurunan tingkat
konsumsi masyarakat yang memicu kelesuan ekonomi secara nasional.
Perusahaan konsultan manajemen Dun & Bradstreet meramalkan
kebangkrutan perorangan akan meningkat pesat. Bahkan berdasarkan perhitungan,
kemudahan sistem kredit ini diakses oleh masyarakat memberikan kontribusi 30
persen peningkatan kebangkrutan perorangan.
Secara hakikat hal ini juga berlaku pada banyak perusahaan di dalam
satu negara. Akhirnya negara akan terperangkap oleh hutang dan susah untuk
menghindar dari krisis. Jadi dengan kata lain selama negara yang mengalami
krisi financial dan mencoba keluar dengan cara hutang, cepat atau lambat ia
akan kembali terperangkap oleh krisis.
Dalam skala global, akan terlihat bagaimana ketidakseimbangan
finansial antara negara kreditor dan negara debitor. Dengan sistem kredit
yang ada, dapat dipastikan negara kreditor akan aman dalam posisinya.
Karena sebagian besar uang beredar dunia ada dalam simpanan mereka.
Kemudian kondisi finansial dunia seperti ini membuat sekelompok negara
tertentu menjadi pemegang setir atas jalannya perekonomian dunia. Dan
globalisasi membuat mereka terus berada dalam posisi yang aman.
Di sektor real pemegang asset (umumnya pada negara-negara maju)
kemudian mengontrol perdagangan dengan memperluas branches produk mereka.
Sementara pelaku ekonomi lainnya (umumnya pada negara-negara berkembang)
hanya dipaksa menjadi konsumen abadi, atau sekedar produsen yang terus
membayar royalti kepada pemegang asset.
Eksploitasi memang tidak begitu terlihat pada level ini, namun jika
lihat dari perspektif bagaimana perekonomian dunia berjalan, maka akan kita
ketahui dengan jelas eksploitasi terjadi oleh pemegang asset terhadap pelaku
pasar lainnya.
Akhirnya pemegang asset ini memanfaatkan posisi kuatnya untuk
mengendalikan ekonomi dunia, baik secara individu sebagai spekulator dan kreditor
maupun secara kolektif institusi seperti negara.
Dan tak tertutup kemungkinan mereka mengalihkan kewenangan ini bukan
hanya pada sektor ekonomi tapi juga di sektor politik dan budaya. Maka sangat
alami sekali ketika ketidakseimbangan dalam ekonomi terjadi, krisis menjadi
tanda bahwa ada yang tak beres dalam perekonomian.
Sementara itu institusi keuangan dunia seperti IMF, Bank Dunia, dan
grup-grup negara donor kini banyak dikritik karena kebijakan yang mereka
persyaratkan untuk membantu sebuah negara yang mengalami krisis tidak
memiliki efek yang positif.
Bahkan treatments yang mereka tawarkan semakin memperburuk kondisi
perekonomian, yaitu kebijakan yang terus menggunakan hutang sebagai alat
jalan keluar.
Akhirnya pertanyaan mau kemana globalisasi ekonomi ini pergi susah
untuk dijawab. Ketika arah yang sebenarnya dituju ternyata lebih besar
kemungkinannya adalah jurang kehancuran. Sebab globalisasi sebagai usaha
turunan dari prinsip dasar kapitalis menjadi semakin tidak jelas, ketika kini
kapitalis pun mulai banyak diragukan kemampuanya menjadi dasar nilai dari
jalannya perekonomian.
Sistem kredit yang saat ini sudah mendarah daging susah untuk
dihindari, negara atau dunia tidak memiliki kuasa kontrol atas laizes faire
yang dimiliki kapitalis. Ekonomi dunia lebih cenderung menuju kebangkrutan
akibat menggunakan hukum rimba.
Keseimbangan (equilibrium) dengan harapan tercipta oleh invisible
hand-nya Adam Smith kian menjadi mimpi. Tapi memang inilah sebenarnya
kecenderungan ekonomi yang mengedepankan free trade daripada fair trade.
Pada skala negara ekonomi relatif terkawal dengan berbagai wewenang
yang dimiliki oleh otoritas ekonomi, tapi pada skala global ia terkesan tak
terkendali karena pasarlah yang menentukan jalannya perekonomian.
Perhitungan-perhitungan ekonomi dengan maksud mengawal jalannya ekonomi,
hanya dilakukan pada tingkat negara.
Sedangkan pada tingkatan global ia relatif terabaikan. Padahal ketika
globalisasi bergulir sepatutnya data-data ekonomi global juga menjadi tools
untuk mengawal jalannya ekonomi dunia. Pemecahannya mau tak mau adalah harus
kembali mengevalusi secara seksama sistem kapitalis yang digunakan saat ini,
berikut instrumen-instrumen ekonomi di bawahnya. Tantangan bagi ekonomi
Islam? Wallahu a'lam bishawab
|
Kegagalan Ekonomi Global
Written By Unknown on Kamis, 24 Januari 2013 | 04.26
Label:
Ekonomi
Posting Komentar